

Oleh: Yusuf Ikrom
Beberapa waktu lalu, jagat media sosial kembali diramaikan oleh sebuah perbincangan unik: sosok Bang Ferry Irwandi, seorang figur publik yang kerap mengemukakan pandangan kritis terhadap kondisi bangsa, disamakan dengan Monkey D. Dragon oleh salah seorang tiktoker @kribo_tiktokk dalam unggahan videonya. Dragon, tokoh revolusioner dalam anime populer One Piece. Analogi ini muncul dalam sebuah video TikTok yang segera memicu beragam respons—ada yang menganggapnya kocak, ada yang menilai relevan, dan tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai sindiran serius terhadap kondisi politik Indonesia saat ini.
Fenomena ini menarik untuk dibahas lebih jauh. Mengapa? Karena analogi tersebut bukan sekadar perbandingan wajah atau gaya bicara, melainkan lebih pada simbol perlawanan dan kritik terhadap sistem. Monkey D. Dragon dalam One Piece digambarkan sebagai pemimpin Tentara Revolusioner yang berusaha menggulingkan Pemerintah Dunia—sebuah sistem otoriter yang korup dan represif. Sementara itu, Ferry Irwandi dikenal sebagai sosok yang berani melawan arus, lantang menyuarakan kritik, dan berupaya membongkar praktik ketidakadilan dalam konteks Indonesia.
Keterhubungan antara dunia fiksi dan realitas ini memperlihatkan bagaimana budaya populer mampu menjadi bahasa yang dipakai masyarakat untuk memahami dan mengartikulasikan fenomena sosial-politik. Anime, manga, film, atau bahkan musik seringkali menjadi medium perlawanan yang lebih mudah dicerna generasi muda dibandingkan teks akademis yang berat. Dengan kata lain, menyamakan Ferry Irwandi dengan Dragon bukan hanya sekadar candaan, tetapi juga sarana untuk mengkomunikasikan kritik terhadap pemerintah dengan cara yang kreatif.
Melalui opini ini, saya akan mencoba mengurai lebih jauh analogi tersebut. Pertama, dengan memahami siapa sebenarnya Ferry Irwandi dalam konteks sosial-politik Indonesia. Kedua, menelisik siapa Dragon dalam dunia One Piece dan apa makna simboliknya. Ketiga, membandingkan titik-titik kesamaan keduanya dalam hal ideologi, perlawanan, serta persepsi publik. Terakhir, melihat bagaimana kondisi Pemerintah Dunia dalam anime tersebut bisa dijadikan cermin bagi situasi politik Indonesia, sebelum akhirnya menarik refleksi yang lebih luas mengenai makna perlawanan dan pentingnya kritik dalam menjaga demokrasi.
Mengenal Ferry Irwandi
Untuk memahami mengapa Ferry Irwandi disamakan dengan Monkey D. Dragon, kita perlu menelusuri lebih jauh siapa sosok ini dan bagaimana citra publik yang melekat padanya. Ferry Irwandi dikenal luas sebagai figur yang vokal, kritis, dan kerap tampil di ruang publik dengan pandangan yang tajam terhadap situasi sosial-politik Indonesia. Bagi sebagian orang, ia dianggap sebagai “penyambung lidah rakyat”—orang yang berani mengatakan hal-hal yang enggan atau takut diucapkan oleh banyak orang.
Ciri khas Ferry adalah keberaniannya melawan arus. Dalam banyak kesempatan, ia tidak segan menyinggung praktik ketidakadilan, menantang kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, atau mengkritik elite politik yang terlalu sibuk menjaga kepentingan kelompoknya sendiri. Di era ketika sebagian besar figur publik lebih memilih aman dengan komentar normatif, Ferry tampil sebagai antitesis: apa adanya, blak-blakan, bahkan terkadang dianggap provokatif.
Namun, posisi kritis ini tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Seperti halnya Dragon di One Piece yang dicap sebagai “penjahat terbesar” oleh Pemerintah Dunia, Ferry Irwandi pun sering kali dilabeli dengan stigma negatif. Ada yang menuduhnya sekadar mencari sensasi, ada pula yang menilainya sebagai pengganggu stabilitas. Tidak jarang, pernyataan Ferry memicu perdebatan panas di ruang publik—baik di media sosial maupun di forum-forum diskusi politik.
Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan figur seperti Ferry penting dalam dinamika demokrasi. Ia mewakili suara-suara kritis yang menolak pasrah terhadap keadaan. Dalam banyak hal, Ferry memperlihatkan bahwa perlawanan terhadap sistem bukan hanya bisa dilakukan dengan demonstrasi di jalanan atau aksi fisik, melainkan juga melalui narasi, opini, dan keberanian menyampaikan kebenaran versi rakyat.
Popularitas Ferry di media sosial semakin memperkuat citranya sebagai ikon resistensi. Generasi muda, yang akrab dengan bahasa digital dan simbol-simbol budaya populer, mudah sekali menangkap analogi “Ferry = Dragon”. Sebab, baik di dunia nyata maupun fiksi, keduanya sama-sama digambarkan sebagai sosok yang berdiri di garis depan menentang otoritas.
Singkatnya, Ferry Irwandi adalah sosok yang tidak hanya dikenal karena kata-katanya yang lantang, tetapi juga karena posisinya yang konsisten di sisi kritik. Ia mungkin tidak memimpin pasukan revolusioner seperti Dragon, tetapi keberadaannya mengingatkan publik bahwa selalu ada figur yang berani berkata “tidak” pada sistem, betapapun besar risiko yang harus ditanggung.
Siapa Monkey D. Dragon dalam One Piece?
Dalam jagat One Piece, Monkey D. Dragon adalah salah satu tokoh paling misterius sekaligus berpengaruh. Namanya jarang muncul di awal cerita, namun begitu disebut, hampir selalu diiringi dengan aura kewaspadaan, ketakutan, atau kekaguman. Media dunia dalam cerita menyebutnya sebagai “penjahat paling berbahaya di dunia”, sementara Pemerintah Dunia menganggapnya sebagai ancaman eksistensial terhadap stabilitas global.
Dragon adalah pemimpin Tentara Revolusioner, sebuah organisasi besar yang tersebar di berbagai wilayah, beranggotakan individu-individu kuat, dan berkomitmen menggulingkan kekuasaan Pemerintah Dunia. Tidak seperti kelompok bajak laut yang sering hanya mengejar harta atau kebebasan individual, Tentara Revolusioner memiliki tujuan ideologis: membebaskan rakyat dari penindasan, membongkar ketidakadilan struktural, dan mendirikan tatanan baru yang lebih adil.
Secara karakterisasi, Dragon digambarkan sebagai sosok yang tenang, penuh perhitungan, dan karismatik. Ia jarang tampil secara langsung, tetapi strategi dan perintahnya menggerakkan pasukan dalam skala global. Aura misterius ini justru memperkuat citranya sebagai pemimpin revolusi—figur yang tidak harus selalu tampil di panggung utama, tetapi kehadirannya terasa di balik layar.
Yang menarik, Dragon bukan sekadar pemimpin militer atau politik. Ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang sudah terlalu lama mapan. Pemerintah Dunia dalam One Piece digambarkan sebagai struktur otoriter yang dijalankan oleh para bangsawan dunia (Tenryuubito) dan lima tetua tertinggi (Gorosei), yang pada praktiknya menindas rakyat biasa demi kepentingan elite. Dalam sistem ini, keadilan hanyalah retorika, sementara kekerasan dilegalkan demi menjaga kekuasaan.
Dragon memahami bahwa melawan sistem semacam itu tidak bisa dilakukan dengan cara biasa. Ia memilih jalur revolusi, meskipun itu berarti menanggung risiko besar: dicap kriminal, diburu oleh angkatan laut, bahkan membuat keluarganya hidup dalam bayang-bayang ancaman. Tidak banyak yang tahu bahwa Dragon adalah ayah dari Monkey D. Luffy, tokoh utama One Piece. Fakta ini menambah kompleksitas: sang ayah memilih jalan revolusi global, sementara sang anak memilih jalan bajak laut demi kebebasan pribadi dan teman-temannya.
Di mata publik dunia fiksi One Piece, Dragon adalah figur yang kontroversial. Bagi rakyat yang ditindas, ia pahlawan. Bagi Pemerintah Dunia, ia musuh nomor satu. Bagi penonton anime dan pembaca manga, Dragon adalah representasi dari sosok revolusioner yang idealis—berani menantang kekuasaan yang tampak tak tergoyahkan.
Jika ditarik ke dunia nyata, Dragon dapat dipahami sebagai metafora dari siapapun yang berani melawan struktur kekuasaan hegemonik. Ia mengingatkan kita bahwa sistem, betapapun kokohnya, selalu bisa dilawan jika ada keberanian, strategi, dan keyakinan.
Dengan karakterisasi seperti ini, tidak heran jika banyak orang kemudian melihat kesamaan antara Dragon dan tokoh-tokoh dunia nyata yang kritis terhadap pemerintah, termasuk Ferry Irwandi. Keduanya sama-sama menjadi simbol perlawanan, meski dalam konteks yang sangat berbeda: Dragon di dunia fiksi global, Ferry di panggung politik Indonesia. Namun, kesamaan simbolik itu cukup untuk memicu analogi yang menarik dan relevan.
Kesamaan Titik Kritis Ferry Irwandi dan Dragon
Membandingkan Ferry Irwandi dengan Monkey D. Dragon tentu bukan berarti menyamakan keduanya secara mutlak. Keduanya hidup di dunia yang berbeda: Ferry di panggung politik dan sosial Indonesia, sementara Dragon hanyalah karakter fiksi dalam dunia One Piece. Namun, jika dilihat dari sisi simbolik dan ideologis, ada sejumlah titik kritis yang membuat analogi ini terasa relevan.
- Perlawanan terhadap Sistem
Dragon dikenal sebagai figur revolusioner yang menentang Pemerintah Dunia—sebuah sistem yang dianggap otoriter, korup, dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Sikap ini sangat mirip dengan Ferry Irwandi yang dalam banyak kesempatan menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang dinilai tidak adil, menyuarakan suara rakyat yang termarjinalkan, dan menolak tunduk pada arus utama politik yang sering kali dikuasai elite.
Kesamaan ini menunjukkan bahwa keduanya sama-sama berani melawan struktur kekuasaan mapan, meskipun risiko yang dihadapi berbeda.
- Simbol Resistensi
Dragon adalah simbol perlawanan global. Namanya menginspirasi banyak orang di dunia One Piece untuk tidak pasrah terhadap penindasan. Demikian pula, Ferry Irwandi bagi sebagian orang menjadi simbol keberanian untuk bersuara, meskipun ia tidak memimpin pasukan bersenjata. Figur Ferry melambangkan bahwa resistensi bisa hadir dalam bentuk narasi, opini, dan keberanian mengungkapkan kebenaran di ruang publik.
- Label dari Otoritas
Dragon dicap sebagai “penjahat terbesar di dunia” oleh Pemerintah Dunia. Label ini lebih merupakan strategi politik untuk men delegitimasi perjuangannya, bukan cerminan dari realitas. Hal yang sama dialami Ferry Irwandi: kritiknya sering dianggap provokasi, bahkan ada yang menuduhnya sekadar mencari sensasi. Padahal, dalam perspektif masyarakat yang mendukung, label-label negatif itu justru memperlihatkan keberanian Ferry dalam menantang sistem.
- Aura Karismatik dan Misterius
Meskipun Dragon jarang muncul secara langsung dalam cerita One Piece, kehadirannya selalu terasa. Ia punya aura karismatik yang membuat namanya diperhitungkan, bahkan tanpa banyak eksposur. Ferry Irwandi juga memiliki daya tarik serupa. Ia mungkin tidak selalu tampil di panggung utama politik nasional, tetapi komentar dan pandangannya sering memicu perbincangan luas di media sosial. Keduanya sama-sama menunjukkan bahwa kekuatan seorang figur tidak selalu diukur dari jabatan formal, melainkan dari dampak simbolik yang mereka ciptakan.
- Kontroversi dan Dualisme Pandangan
Baik Dragon maupun Ferry Irwandi adalah figur kontroversial. Bagi pendukungnya, mereka adalah pahlawan yang berani melawan ketidakadilan. Namun, bagi pihak yang merasa terganggu oleh kritiknya, keduanya dianggap pengacau. Dualisme pandangan ini wajar, karena setiap figur perlawanan selalu menimbulkan polarisasi. Dalam politik, keberanian untuk mengambil posisi kritis hampir selalu diikuti oleh konsekuensi berupa perlawanan balik.
- Konteks Perjuangan
Perbedaan paling jelas tentu ada pada konteks. Dragon berjuang di dunia fiksi dengan struktur kekuasaan absolut dan otoriter. Ferry Irwandi berada di Indonesia, negara demokratis yang relatif terbuka tetapi tetap menghadapi masalah serius seperti korupsi, oligarki, dan represi terhadap kritik. Meskipun berbeda konteks, kesamaan semangat perlawanan tetap bisa ditemukan: keduanya menolak untuk diam menghadapi ketidakadilan.
- Makna Sosial
Kesamaan Ferry dan Dragon bukan hanya soal karakter pribadi, tetapi juga soal bagaimana masyarakat memaknainya. Dalam budaya populer, menyamakan Ferry dengan Dragon adalah cara kreatif untuk mengekspresikan keresahan publik terhadap pemerintah. Analogi ini bekerja sebagai “bahasa bersama” yang dipahami generasi muda: dengan menyebut Ferry sebagai Dragon, mereka sedang mengatakan bahwa di tengah situasi yang kompleks, selalu ada figur yang berani menantang kekuasaan.
Kesamaan-kesamaan ini memperlihatkan bahwa analogi antara Ferry Irwandi dan Dragon bukanlah perbandingan dangkal. Ia mencerminkan pola yang lebih besar: bahwa dalam setiap sistem politik, selalu lahir figur-figur yang berani berkata “tidak” pada kekuasaan. Figur semacam ini, baik nyata maupun fiksi, dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara rakyat dan elite, antara demokrasi dan otoritarianisme.
Pemerintah Dunia One Piece vs Pemerintah Indonesia
Membandingkan Pemerintah Dunia dalam One Piece dengan Pemerintah Indonesia tentu membutuhkan kehati-hatian. Keduanya hadir dalam dimensi yang berbeda: yang satu adalah konstruksi fiksi dalam dunia manga dan anime, sementara yang lain adalah realitas politik sebuah negara demokrasi modern. Namun, analogi antara keduanya dapat memberikan gambaran kritis mengenai bagaimana masyarakat menilai otoritas, serta bagaimana mereka merespons kebijakan dan sistem kekuasaan.
- Struktur Kekuasaan
Dalam One Piece, Pemerintah Dunia adalah sistem kekuasaan global yang dikendalikan oleh Gorosei (Lima Tetua), dengan figur misterius bernama Imu yang memegang kendali tertinggi. Di bawahnya, terdapat jaringan besar: Angkatan Laut, Cipher Pol, dan bangsawan dunia (Tenryuubito) yang memanfaatkan kekuasaan untuk mempertahankan status istimewa. Sistem ini tidak demokratis; rakyat tidak punya suara, keputusan ditentukan sepenuhnya oleh elit di pusat.
Sebaliknya, Indonesia memiliki struktur politik demokratis. Kekuasaan dijalankan melalui pemilihan umum, dengan presiden, parlemen, dan lembaga yudikatif sebagai tiga pilar utama. Secara formal, rakyat memiliki hak memilih dan ikut serta dalam proses politik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi Indonesia kerap dikritik karena didominasi oleh oligarki, di mana sekelompok elite politik dan ekonomi memiliki pengaruh yang tidak proporsional dalam pengambilan keputusan.
- Mekanisme Kekuasaan
Pemerintah Dunia mempertahankan kekuasaannya melalui represi dan propaganda. Setiap upaya perlawanan dianggap sebagai ancaman yang harus dihancurkan, bahkan dengan cara kejam seperti Buster Call—operasi militer yang bisa menghancurkan seluruh pulau hanya demi membungkam oposisi. Dalam konteks ini, hukum bukanlah alat keadilan, melainkan instrumen kekuasaan.
Indonesia tidak menggunakan represi ekstrem seperti itu. Namun, ada kecenderungan membatasi kritik melalui regulasi, ancaman hukum, atau tekanan politik. Kasus-kasus kriminalisasi aktivis, pembatasan kebebasan berekspresi, serta penggunaan pasal karet dalam undang-undang sering dianggap sebagai cara halus untuk meredam perlawanan. Dengan kata lain, jika Pemerintah Dunia memakai senjata untuk membungkam oposisi, pemerintah Indonesia kadang menggunakan hukum dan birokrasi.
- Korupsi dan Kepentingan Elit
Salah satu kritik terbesar terhadap Pemerintah Dunia adalah dominasi Tenryuubito, bangsawan dunia yang hidup mewah dengan memeras rakyat. Mereka kebal hukum, dilindungi oleh angkatan laut, dan dianggap “dewa” yang tidak boleh disentuh. Korupsi moral dan politik ini membuat rakyat semakin menderita, sementara elite semakin berkuasa.
Indonesia, meskipun negara demokrasi, juga menghadapi masalah serius berupa korupsi yang merajalela. Banyak kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, anggota legislatif, bahkan aparat hukum itu sendiri. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa ada kelas elite yang nyaris tak tersentuh hukum, mirip dengan Tenryuubito dalam skala yang lebih nyata.
- Relasi dengan Rakyat
Di dunia One Piece, rakyat sebagian besar pasif karena ketakutan. Mereka hidup di bawah bayang-bayang otoritas, menerima status quo, dan jarang memiliki ruang untuk bersuara. Revolusioner seperti Dragon muncul justru karena ketidakadilan yang terlalu lama dibiarkan.
Di Indonesia, rakyat lebih punya ruang untuk bersuara—demonstrasi, kritik di media, hingga kebebasan berpendapat di media sosial. Namun, ruang ini tidak selalu sepenuhnya aman. Ada kasus di mana kritik terhadap pemerintah dibalas dengan tekanan, persekusi digital, atau ancaman hukum. Walaupun tidak sebrutal Pemerintah Dunia, pola represi halus ini tetap menimbulkan kekhawatiran mengenai kualitas demokrasi.
- Persamaan dan Perbedaan
- Persamaan:
- Kedua sistem sama-sama dikritik karena dianggap lebih menguntungkan elite dibanding rakyat.
- Kritik dan perlawanan sering diperlakukan sebagai ancaman, bukan masukan.
- Korupsi, baik nyata maupun simbolik, menjadi penyakit utama.
- Perbedaan:
- Pemerintah Dunia sepenuhnya otoriter tanpa ruang demokrasi, sementara Indonesia secara formal demokratis.
- Di One Piece, rakyat hampir tidak punya pilihan politik; di Indonesia, rakyat bisa ikut menentukan lewat pemilu, meski hasilnya sering dipengaruhi oligarki.
- Tingkat represi: Pemerintah Dunia menggunakan kekerasan brutal, Indonesia lebih mengandalkan mekanisme hukum dan regulasi.
Analogi ini bukan untuk menyamakan Indonesia dengan dunia fiksi yang represif, melainkan untuk menunjukkan bahwa keresahan masyarakat terhadap pemerintah seringkali diungkapkan melalui metafora budaya populer. Menyebut Ferry Irwandi sebagai “Dragon” adalah cara menyampaikan kritik terhadap sistem, sekaligus peringatan bahwa rakyat selalu mencari figur yang berani melawan, ketika pemerintah dianggap terlalu jauh dari rakyatnya.
Refleksi Sosial-Politik
Menyamakan Ferry Irwandi dengan Monkey D. Dragon jelas bukan perbandingan yang muncul begitu saja. Analogi ini lahir dari keresahan publik sekaligus kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan budaya populer sebagai alat kritik. Di era digital, terutama di media sosial, simbol-simbol dari anime, film, maupun musik sering dipakai untuk mengungkapkan kegelisahan politik. Budaya populer menjadi “bahasa bersama” yang mudah dipahami lintas generasi, terutama generasi muda yang akrab dengan dunia hiburan Jepang.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kritik politik tidak selalu harus datang dari ruang-ruang formal seperti parlemen atau ruang akademik. Justru, bahasa populer seperti meme, video pendek, atau analogi tokoh fiksi seringkali lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Ketika seseorang menyebut Ferry Irwandi sebagai Dragon, yang sebenarnya disampaikan bukanlah sekadar kemiripan karakter, melainkan pesan: “Ada figur yang berani melawan ketidakadilan, meski berisiko tinggi.”
Namun, refleksi ini juga menimbulkan pertanyaan lebih dalam: sejauh mana analogi semacam ini membantu memperkuat kesadaran politik masyarakat? Di satu sisi, ia bisa menjadi pemantik diskusi. Generasi muda yang mungkin tidak akrab dengan teori politik bisa lebih mudah memahami kritik terhadap pemerintah ketika dibalut narasi One Piece. Tetapi di sisi lain, ada risiko glorifikasi yang berlebihan. Ferry bisa dianggap sebagai “pahlawan revolusi” semata karena analogi dengan Dragon, tanpa melihat kompleksitas realitas politik Indonesia yang jauh lebih rumit daripada dunia fiksi.
Meski demikian, penting dicatat bahwa semua gerakan perubahan, baik di dunia nyata maupun fiksi, lahir dari keresahan rakyat terhadap ketidakadilan. Dragon dalam One Piece muncul karena Pemerintah Dunia terlalu otoriter dan korup. Ferry Irwandi mendapat sorotan karena keberaniannya melawan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Dalam dua dunia yang berbeda ini, ada benang merah: resistensi selalu lahir dari pengalaman ketidakadilan yang nyata dirasakan masyarakat.
Refleksi lain yang bisa ditarik adalah peran media sosial dalam membentuk narasi politik. Dulu, kritik mungkin hanya terdengar di jalanan atau forum diskusi terbatas. Kini, melalui TikTok, Twitter, atau Instagram, narasi bisa menyebar luas dalam hitungan jam. Analogi Ferry-Dragon menjadi bukti bagaimana media sosial bisa mengangkat sosok kritis menjadi simbol perlawanan, bahkan jika sebelumnya ia hanya dikenal dalam lingkup tertentu.
Akhirnya, refleksi sosial-politik dari analogi ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga ruang kritik dalam demokrasi. Pemerintah yang sehat bukanlah pemerintah yang membungkam kritik, melainkan yang mau mendengar dan memperbaikinya. Ketika masyarakat memilih menggunakan tokoh fiksi untuk menyampaikan kritik, itu pertanda bahwa bahasa politik formal sering dianggap tidak cukup representatif. Dengan kata lain, munculnya analogi Ferry Irwandi sebagai Dragon adalah alarm sosial: rakyat sedang mencari simbol baru untuk menyalurkan keresahan mereka.
Kesimpulan
Analogi antara Ferry Irwandi dan Monkey D. Dragon dalam One Piece mungkin terdengar sederhana pada awalnya, sekadar gurauan atau permainan imajinasi netizen di TikTok. Namun, jika ditelaah lebih dalam, perbandingan ini membuka ruang refleksi yang kaya tentang kondisi sosial-politik Indonesia. Ferry Irwandi dipandang mirip dengan Dragon bukan karena fisik semata, melainkan karena keberanian mereka dalam melawan ketidakadilan, kritik terhadap sistem, serta simbol perlawanan yang mereka representasikan.
Dragon dalam dunia fiksi adalah sosok revolusioner yang berani menentang Pemerintah Dunia yang otoriter dan korup. Ferry Irwandi di dunia nyata adalah figur yang dengan suara kritisnya menantang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Titik temu ini menunjukkan bahwa dalam konteks apapun—baik fiksi maupun realitas—manusia selalu mencari simbol perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang dianggap timpang.
Lebih jauh, analogi ini memperlihatkan bagaimana budaya populer, khususnya anime, dapat menjadi sarana komunikasi politik yang efektif. Generasi muda lebih mudah mencerna kritik jika disampaikan dalam bahasa yang mereka pahami, seperti perbandingan dengan tokoh fiksi. Dengan demikian, Ferry sebagai “Dragon versi Indonesia” bukan sekadar candaan, melainkan bentuk ekspresi politik kreatif yang merefleksikan keresahan publik.
Pada akhirnya, pesan yang ingin disampaikan sederhana: dalam setiap zaman, selalu ada figur yang berani berkata “tidak” pada kekuasaan. Figur semacam ini, meskipun sering dicap pengganggu atau kontroversial, justru penting untuk menjaga agar demokrasi tidak kehilangan ruhnya. Ferry Irwandi, dalam kacamata publik yang kritis, hanyalah contoh terbaru dari tradisi panjang perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan.







